Kisah/Cerita
Kakak Beradik Paling Mengharukan – Salam sejahtera bagi semua sobat Shantycr7
dimanapun berada. Menurutku ya ini kisah atau cerita yang sangat menginspirasi
banget, yupz sangat mengharukan sobat, apalagi buat sobat nih yang punya saudara kandung wuih terhanyut deh dengan kisah ini, ku jamin kalo sobat bacanya ampe abis
bakal nangis deh cos memang ini kisahnya menginspirasi banget tentang bagaimana
rasa sayang seorang adik terhadap kakaknya yang rela mengorbankan jiwa
raganya,.,.wuih keren deh sobat, makanya baca ampe abis yahJ
Oya
ini ku ambil dari status galalu gokil di FB, ku liat ceritanya bagus banget
makanya aku posting deh J judulnya Aku Menangis untuk
Adikku 6 Kali
yang diiterjemahkan
dari "I cried for my brother six times"
Selamat membaca dan
harap sediakan tissue.,.,
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang
sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan
punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun
lebih muda dariku.Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana
semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen
dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku
berlutut di depan tembok,dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?"
Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.Ayah tidak
mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau
begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu
tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah,
aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya
sampai Beliau kehabisan nafas.Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang,
hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...Kamu layak
dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku
memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai
menangis meraung-raung.Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku
masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju
mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.Ketika adikku
berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat
kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk
ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil
yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela
nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya
sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan
berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku
pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa
ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan
ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang
sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku
memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata
bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku
20.Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).Suatu hari, aku sedang belajar
di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang
penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak
bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu
saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa
terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku
semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan
siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus
menjelaskan,"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir
kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama
lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun
itu, ia berusia 20. Aku 23.Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.Setelah
pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku."Bu, ibu
tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah
kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu
adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru
itu.." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang
kurus, seratus jarum terasa menusukku.Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya
dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku
menanyakannya."Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu.
Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja
dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti.Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku
23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku
dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau.Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,mereka
tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja
reparasi.Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan
aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus
melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang
begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan
tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer
seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku
dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah:
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan
masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku
29.Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi
sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda.
Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama
dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan
satu dari sarung tanganku.Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah, tangannya
begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan
menjaga kakakku dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri ruangan itu.
Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan
keluar bibirku,"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih
adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,di depan
kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Baca Juga :
Bermanfaat sekali tulisannya.. sangat membantu.. terima kasih
ReplyDeletecara menjadi dosen
dosen yang menginspirasi
jual sepatu safety surabaya
tempat pembuatan website di medan