Mengintip Negara Dengan Sistem
Pendidikan Terbaik Di Dunia
Wah, sebentar lagi aku akan
diwisuda, tepatnya tanggal 24 Oktober 2013. Sejak selesai menjalani sidang meja
hijau Juli lalu dan selesai mengurus segala berkas-berkas terkait kampus dan
lamaran beasiswa S2 ku, bahan bacaanku setiap hari semakin bertambah saja
topiknya karena uda punya waktu lebih lama di kos. Kalau biasanya topik
bacaanku tentang ekonomi bisnis, kesehatan, pendidikan, dan CR7, belakangan jadi bertambah
ke ranah politik, filsafat dan sosial budaya serta teknologi, bahkan dalam
sehari aku bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam (maybe more) membaca bahan yang kusuka dari internet (apalagi kalau
hari minggu). Namun dari sekian topik itu, pikiranku agaknya lebih tertuju pada
sistem pendidikan di Indonesia beserta kebijakan-kebijakan yang terkait. Aku
jadi sering memikirkannya dan merenungkannya (apalagi waktu mau tidur hehhee)
“Indonesia sangat mungkin untuk bisa menduduki top ten negara dengan
sistem pendidikan terbaik di dunia” gumamku dalam hati, mengingat saat ini negara
kita masih tergolong dalam top ten the
worst education system in the world versi PISA, TIMMS dan PIRLS. PISA sendiri merupakan singkatan dari Programme Internationale for Student
Assesment, yaitu suatu bentuk evaluasi kemampuan dan pengetahuan yang dirancang
untuk siswa usia 15 tahun yang dilaksanakan 3 tahun sekali. PISA ini merupakan
proyek dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD),
pertama kali diselenggarakan pada tahun 2000 yang dikhususkan dalam bidang
membaca, matematika dan sains. Tahun 2009 lalu, PISA memperlihatkan rata-rata
siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 dari 6 level. Dalam
hal membaca, Indonesia berada di peringkat 57, matematika di peringkat 61, dan
sains di peringkat 60, dari 65 negara (kalau untuk hasil tahun 2012 setauku
belum keluar, correct me if I’m wrong).
Kalau TIMMS (Trends in
International Mathematics and Science Study), merupakan studi internasional
untuk mengukur prestasi siswa SMP khusus dalam
bidang matematika dan sains. TIMSS membagi penilaian dalam empat
kategori, yaitu rendah, menengah, tinggi, dan lanjutan. Hasil penelitian TIMSS
memperlihatkan 95% siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan soal hingga
tingkat menengah atau intermediate. Hmmm suatu hasil yang sangat memilukan. Sementara
PIRLS sendiri (Progress in International
Reading Literacy Study) adalah studi internasional tentang literasi membaca
(melek huruf istilahnya) untuk siswa Sekolah Dasar. PIRLS ini diselenggarakan 5
tahun sekali. Tahun 2011, PIRLS diikuti oleh 45 negara. Sayang sekali, hasilnya
memperlihatkan bahwa siswa Indonesiapada peringkat ke 41 dari 45 negara dalam
literasi membaca.
Meskipun kenyataan
menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia
dari tahun ketahun selalu tergolong rendah berdasarkan studi
internasional, namun menurutku sangatlah mungkin untuk bisa mendongkrak posisi Indonesia ke level top ten atau bahkan five ten the best education system in the world beberapa
tahun mendatang karena agak mustahil kalau itu bisa tercapai dalam waktu dekat ini
mengingat perombakan sistem pendidikan itu sendiri memakan waktu yang cukup
lama.
Kita tahu bahwa Finlandia
merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia dengan jumlah
penduduk yang hanya berkisar 5 juta jiwa, bandingkan dengan Indonesia yang
jumlah penduduknya lebih dari 220 juta jiwa. Negara industri yang hanya
memiliki 6 provinsi ini tiap tahunnya selalu menduduki peringkat atas dalam hal
sistem pendidikannya, setelah kupikir-pikir yah bagaimana tidak, jika kita menilik lebih jauh lagi mengenai
sistem dan kebijakan-kebijakan dalam pendidikan di Finlandia itu, maka kita
akan menemukan beberapa hal yang membuat Finlandia layak untuk mendapatkan
gelar sistem pendidikan terbaik di dunia. Berikut gambaran tentang bagaimana
sesungguhnya Finlandia menerapkan sistem pendidikannya (mari kita bandingkan
dengan kenyataan yang ada di Indonesia) :
1.
Di Finlandia itu PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini) sangat ditekankan, bahkan budaya membaca sudah ditekankan sejak dini. Menurutku
PAUD adalah kunci dasar untuk membangun karakter manusia yang
sesungguhnya. Dengan PAUD diharapkan nantinya akan menciptakan manusia yang berkualitas,
yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya
sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar
serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Apalagi 90% pertumbuhan otak
terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD. Berbeda
dengan negara kita, di Indonesia satuan PAUD belum diwajibkan. Tapi aku cukup
senang melihat adanya peningkatan jumlah satuan PAUD belakangan ini walaupun PAUD
sendiri belum diwajibkan pemerintah.
2.
Sistem kurikulum dalam hal pendidikan di
Finlandia selalu tetap/konsisten dan jarang sekali gonta-ganti, beda dengan
Indonesia yang suka trial and error.
Lihat saja, mulai diberlakukannya sistem KBK tahun 2004 oleh kemdikbud yang
hanya bertahan 2 tahun tanpa memperlihatkan mutu pendidikan yang cukup berarti
kemudian uda langsung digantikan dengan sistem KTSP tahun 2006. Dan tahun ini
KTSP telah digantikan dengan kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013 yang resmi
diluncurkan 15 Juli yang lalu. Padahal kenyataannya KTSP sendiri belum mampu
secara maksimal diterapkan. Yang kulihat sih ada 10 perbedaan dengan kurikulum
kita sebelumnya namun tetap saja kemdikbud tidak cukup konsisten menerapkan
sistem kurikulum apalagi persiapan dalam menyusun kurikulum 2013 ini tidak
dilakukan dengan persiapan yang matang hanya dalam waktu 6 bulan (cukupkah??)
Berdasarkan yang kubaca Pak mendikbud M. Nuh menyatakan pergantian kurikulum di
Indonesia berdasarkan hasil refleksi studi internasional (hmmmm get really !)
3.
Guru-guru di Finlandia tidak ada yang S1
apalagi D3, minimal bergelar S2 yang sangat diseleksi dengan ketat ketika akan
diterima menjadi tenaga pendidik. Guru-guru disana adalah guru-guru dari
lulusan universitas terbaik dan sangat terlatih, mereka bukan hanya mampu
menguasai bidang studi yang diajarkannya, namun juga sangat profesional dalam memahami
dan mendalami karakter masing-masing peserta didiknya. Disana profesi seorang
guru sangat dihargai, bayangkan gaji guru disana mencapai kisaran 42 juta
rupiah /bulan yang sekaligus merupakan gaji
guru tertinggi ke-5 didunia (saat ini negara dengan gaji tertinggi
didunia dipegang oleh Singapura). Untuk masuk fakultas keguruan di Finlandia
sangatlah tidak mudah, bahkan seleksinya lebih sulit daripada memasuki fakultas
kedokteran atau hukum. Sangat berbeda dengan fenomena yang kita jumpai di
Indonesia, anda bisa menilai sendiri bagaimana status seorang guru dinegara
tercinta ini.
4.
Kalau kebijakan sistem pendidikan di
Indonesia yang menerapka UN, ujian Mid-semester, ujian semester, ujian bulanan,
ujian harian dan berbagai ujian-ujian lainnya yang menurutku sangat tidak bisa
membuat siswa lebih terampil dan cerdas, beda halnya dengan Finlandia yang tidak
terlalu membuat banyak tes. Dengan banyaknya tes maka hanya akan membuat
pemikiran siswa terfokus pada nilai dan nilai. Sebagai seorang mantan siswa
jujur kuakui memang begitu kenyataan yang kualami jadi lebih terfokus pada
aspek kognitif, ya bagaimana caranya agar bisa lulus dengan nilai bagus itu paling
utama (meskipun secara pribadi pastilah tidak sepenuhnya seperti itu). Bagaimana
tidak, ya karena itulah yang jadi patokan umum untuk bisa “dianggap” dalam
dunia pendidikan di indonesia. Kalau di Finlandia semua siswa itu di bimbing
menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independent selalu ada
evaluasi terstruktur yang khusus dilakukan oleh para ahli pendidikan dan
psikolog. Tidak ada sistem pe-ranking-an disana, tidak ada kelas unggulan,
bahkan sekolah unggulan pun tidak ada karena pengklasifikasian yang seperti itu
hanya akan menciutkan mental kebanyakan siswa yang tidak bisa mendapatkannya.
5.
Semua biaya pendidikan beserta sarana dan
prasarana di Finlandia ditanggung dan disiapkan oleh negara. Negara membayar
biaya kurang lebih 200 ribu Euro per siswa untuk dapat menyelesaikan studinya
hingga tingkat universitas. Baik siswa itu miskin maupun kaya namun sama-sama
memiliki kesempatan untuk bisa belajar serta meraih cita-citanya karena semua
ditanggung oleh negara. Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan dana demi
peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Bahkan untuk makan dan minum di
sekolah serta transportasi anak menuju ke sekolah semuanya ditangani oleh
pemerintah. Biaya pendidkan datang dari pajak daerah, provinsi, serta dari
tingkat nasional. Jauh berbeda dengan Indonesia, padahal anggaran untuk
pendidikan kita cukup besar apalagi ada Dana Alokasi Khusus sebesar 348 milyar
yang sebenarnya untuk fasilitas pendidikan namun kerap kali tidak digunakan
dengan maksimal.
6.
Kebijakan mengenai jumlah hari masuk sekolah
siswa-siswa Finlandia yaitu hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Beda
dengan jumlah hari sekolah di Indonesia terlalu lama yaitu 220 hari dalam
setahun (termasuk negara yang menerapkan jumlah hari belajar efektif dalam setahun
yang tertinggi di dunia), kalau di Finlandia jumlah hari liburnya 30 hari lebih
banyak daripada di Indonesia. Kita masih menganut pandangan bahwa semakin
sering ke sekolah siswa akan semakin pintar, mereka malah berpandangan semakin
banyak hari libur anak makin pintar. Yah dengan liburan otak dan pikiran
anak-anak jadi lebih fresh sehingga
ketika dengan mudah dan enjoy menerima
pelajaran, mereka tidak melulu
dibebani oleh tugas-tugas sekolah yang membludak plus ujian ini itu yang harus
dipersiapkan. Selain itu siswa bisa lebih mendapatkan waktu lebih banyak memperoleh
informasi dari luar, melalui internet misalnya secara lebih leluasa (tentunya
dengan kontrol orangtua). Bayangkan dengan di Indonesia, aku masih ingat dulu
semenjak SMP dan SMA hari-hariku dipenuhi dengan tugas-tugas sekolah, bahkan
ketika libur sekalipun (mengerjakan semua soal-soal LKS yang disuru pindahkan
kebuku catatan kemudia disuru menjabarkan hasil jawaban, belum lagi tugas
kelompok, tugas individu, persiapan ujian dll) semuanya serba aspek kognitif,
waktuku jadi lebih sedikit untuk bisa mengeksplor informasi dunia, apalagi
dunia internet wakti itu belum terlalu bersahabat dengan lingkunganku.
7.
Sekolah-sekolah di Finlandia kecil sekali
perbedaan antara siswa yang berprestasi baik (pintar) dan yang buruk (kurang
pintar). Program remedial sendiri tidaklah
dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan bagi siswa untuk
memperbaiki kesalahannya. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar
dan perilaku siswa akan membuat program individual bagi setiap siswa dengan
penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, contohnya begini : Pertama, masuk
kelas, kemudian datang tepat waktu dengan membawa buku-buku yang relevan,kalau
mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting
mereka mau berusaha untuk mengerjakannya. Para guru Finlandia sangat menghargai
setiap usaha dari siswanya. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan,
apapun jawaban atau respon siswa tentang materi terkait tidak dapat divonis
salah, tidak ada jawaban yang salah (mungkin lebih tepatnya jawaban kurang
tepat). Mereka hanya diminta
membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa
lainnya. Tentu sangat bisa kita bandingkan dengan sistem penilaian yang terjadi
di Indonesia (ya meskipun tidak semua seperti itu tapi disini aku lebih
menggeneralisasi). It’s fact.
Melihat
perbedaan diatas, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menerapkan sistem
pendidikan layaknya Finlandia. Ya itu memang tidak mudah, butuh proses mengingat
begitu banyaknya polemik di Indonesia, situasi, keadaan sosbud, dan terutama
masih rendahnya tingkat kesadaran sumber dayanya.
Mengutip
pernyataan Mc. Keena & Beech (1995 : 161) “Manajemen Sumber Daya Manusia mengatakan,
penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan
untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika
diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun
penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab,
kesempatan dan pengembangan karir). Mungkin lebih tepatnya kesejahteraan guru
harus lebih diperhatikan, bagaimana seorang guru bisa termotivasi untuk menjadi
guru profesional sementara profesinya saja kurang mendapat apresiasi dari
khalayak umum belum lagi tingkat gaji yang sangat miris (pada hal dana anggaran
pendidikan kita cukup besar loh)
Yang paling PARAH dan paling
memilukan hati adalah “tingkat korupsi di Depdiknas”. Ya memang sudah tidak
heran kalau kita berbicara masalah korupsi di Indonesia. Data menunjukkan
depdikbud ini adalah departemen terkorup kedua setelah departemen agama di
Indonesia (menyedihkan bukan?)
Pun dengan penyusunan sistem kurikulum alangkah baiknya dilakukan dengan sangat
terencana, perlu dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya, jangan hanya
menguntungkan beberapa pihak saja, ingat negara kita bukan negara homogen,
bukankah penyusunan kurikulum dan kebijakan pendidikan itu harus dikembangkan
sesuai dengan satuan pendidikan, peserta didik dan daerah sebagaimana yang
tertuang dalam UU Sisdiknas pasal 36 ayat 2?? Sementara fakta yang terjadi
adalah “penyamarataan”. Mengapa kubilang penyamarataan, ya karena penyusunan
buku saja dilakukan secara terpusat, panduan untuk guru pun dilakukan terpusat,
semua serba terpusat, jadi mau bagaimana kita mengembangkan yang
didaerah-daerah? Think it again.
Namun terlepas dari semua
itu, memang selagi belum ada kesadaran penuh dan niat yang tulus tak akan bisa
tercapai apa yang kita harapkan. Kita sebagai generasi muda penerus bangsa
(yang merasa generasi muda hehhe), kitalah yang harus lebih berperan aktif
untuk bisa mewujudkannya, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut berperan aktif
dalam dunia pendidikan, apalagi yang dalam bidang pendidikan nih J
Indonesia dengan sistem pendidikan terbaik didunia “sangat mungkin” kita
wujudkan, Finlandia sebagai salah satu negara yang tidak begitu diperhitungkan
di dunia saja bisa, kenapa Indonesia tidak???? Yes we can do it !
http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/17/mengintip-negara-dengan-sistem-pendidikan-terbaik-di-dunia-599764.html