Pages

Thursday, June 13, 2013

PERANAN KEWIRASWASTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Hey there sobat Shantycr7 yang cakep :P
nah kebetulan nemu nih d netbook yang mau aku posting tentang PERANAN KEWIRASWASTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL buat sobat Shantycr7 siapa tau ada yang lagi nyari referensi or bahan buat tugas hehehe kan itung2 bantu orang (ya basically emang postinganku buat bantu orang yg lagi nyari info or bahan)

Anyway guys akhirnya nemu deh ketikan yang waktu itu disuru aku ketik sama dosen mata kuliah Metodologi penelitian (ya emang ga nyambung ama judul postingan) tapi kayaknya bapa itu mau buat buku deh makanya aku disuru ngetik buat buku KEWIRASWASTAAN,.,.nih aku ketik dari buku jadul sobat hehehe so update lagi ntar yah

oya ni kan bab V critanya ni sobat, so untuk bab I nya yang uda aku ketik dengan judul PENGERTIAN DAN KONSEP KEWIRASWASTAAN bisa sobat baca disini http://shantycr7.blogspot.com/2013/06/pengertian-konsep-kewiraswastaan.html
Oce langsung ke TKP yokkk


MATERI LIMA
PERANAN KEWIRASWASTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Tujuan khusus pengajaran (TKP) :
Setelah mempelajari materi lima ini, mahasiswa mampu :
1.      Menerangkan tujuan pembangunan dan implikasinya terhadap masyarakat;
2.      Menjelaskan perkembangan kewiraswastaan dalam perspektif historis;
3.      Menjelaskan fungsi kewiraswastaan dalam pembangunan nasional;
4.      Mengidentifikasi dimensi tingkat kewiraswastaan masyarakat;
5.      Mengidentifikasi faktor penghambat pertumbuhan kewiraswastaan di Indonesia;
6.      Menjelaskan tingkat kesiapan kewiraswastaan Indonesia dalam era tinggal landas

Kegiatan : Pelajari dengan seksama materi peranan kewirastaan dalam pembangunan nasional di bawah ini.
1.      Tujuan pembangunan dan implikasinya terhadap masyarakat
Pembangunan adalah salah satu konsep yang memaksa pada dewasa ini. Dia membangkitkan masalah nilai, teknik dan pilihan. Karena itu tidaklah mudah menggeralisasi konsep ini. Ada yang mengartikan pembangunan itu sebagai “modernisasi” atau “pertumbuhan” (growth). Pembangunan merupakan suatu konsep normatif, karena dia merupakan pilihan untuk mencapai tujuan seperti diistilahkan oleh Gandih (merealisasi kemampuan manusia).
Pakar ekonomi Michael Todaro menyatakan bahwa pembangunan mencakup sekurang-kurangnya tiga nilai yang berbeda :
a.       Kelangsungan hidup (self sustenance), yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan dasar bagi semua orang.
b.      Aktualisasi diri (self esteem) yaitu memanusiakan manusia, misalnya kemandirian
c.       Bebas dari perbudakan (freedom from servitude) yang berarti bebas memilih (Bryant dan White, 1982:14).

           
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat mempengaruhi masa depan (Dusseldorp, 1989). Pembangunan membawa implikasi terhadap individu dan/atau masyarakat dalam empat hal: capacity, equity, empowerment dan sustaible.
CAPACITY
            Pembangunan adalah peningkatan kemampuan untuk menentukan masa depan. Pembangunan membutuhkan faktor – faktor ekonomi sebagai faktor produksi. Sangat sukar bagi seseorang atau negara untuk meningkatkan pengendalian masa depannya sendiri jika faktor produksi utama (alam, tenaga kerja, modal dan skill) tidak tersedia secara memadai ataupun jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi. Pembangunan memusatkan perhatian pada produksi dan pertumbuhan (growth) tetapi dalam arti luas, yang meliputi peningkatan kemampuan bangsa dan masyarakat untuk meningkatkan produksi dan pendistribusiannya. Dari sebab itu, pembangunan memiliki aspek miro dan makro, yaitu mengubah individu dan masyarakat sebagai suatu bangsa.
Equity
Implikasi kedua adalah pendistribusian atau pemerataan hasil – hasil pembangunan secara adil. Konsep normative ini juga memberikan implikasi bahwa pemerataan dalam aksesibilitas dan pemanfaatan merupakan nilai dari pembangunan itu sendiri. Tidak dipersoalkan berapa besar hasil pembangunan itu dicapai. Jika sebagian kecil penduduk memanfaatkan hasil – hasilnya, pembangunan tidak terjadi. Dalam jangka panjang pembangunan ekonomi didorong dengan meningkatkan sumberdaya manusia dalam suatu negara dan memeratakan tingkat kemampuan untuk berkonsumsi.
Empowerment
Ketiga, pembangunan adalah untuk memberdayakan simiskin. Karena pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya dapat didistribusikan, maka masalah pemanfaatannya menjadi isu politis. Dalam praktek politik diartikan sebagai revolusi konflik tentang pendistribusian hasil – hasil dari pertumbuhan. Hanya dengan memiliki suatu mekanismeyang mapan dalam mengoreksi ketidakadilan, keputusan pendistribusian hasil – hasil pembangunan bagi penduduk dapat berpengaruh. Fakta menunjukkan bahwa hasil – hasil pembangunan cenderung jatuh kepada mereka yang berkuasa. Mereka yang miskin dan juga kurang berdaya menerima sebagian kecil hasil pembangunan.
Sustainability
Terakhir, pembangunan adalah masalah masa depan dalam jangka panjang, atau disebut dengan isu berkelanjutan (sustainability). Karena faktor seperti keterbatasan dalam luas lahan, energi, sumberdaya alam, dan masalah polusi, keputusan produksi membutuhkan pertimbangan masa depan. Masalah apakah kebutuhan produksi sekarang dapat menjamin masa depan diri kita; pertanyaan ini penting agar supaya orang menyadari isu ekologi dan lingkungan.
Dari pengertian diatas, jelas bahwa konsep pembangunan memiliki arti yang luas. Pembangunan dapat didefenisikan sebagai suatu proses memperkembangkan suatu kemampuan untuk mempengaruhi masalah depan. Konsep pembangunan tidak saja diartikan sebagai pertumbuhan, tetapi juga harus menunjukkan implikasinya terhadap masyarakat yang tercermin dalam peningkatan kemampuan, pemerataan, pemberdayaan, dan berkelanjutan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Garis – garis Besar Haluan Negara (TAP MPR No. II/MPR/1988), pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Berdasarkan pokok pikiran bahwa hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuh dab pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang – undang Dasar 1945, yang mempunyai:
-      Asas manfaat
-      Asas usaha bersama
-      Asas demokrasi
-      Asas adil dan merata
-      Asas perikehidupan dalam keseimbangan
-      Asas kesadaran hukum, dan
-      Asas kepercayaan pada diri sendiri
Kemudian dalam GBHN (pasal 9a) dinyatakan, bahwa pengemban dunia usaha negara, koperasi dan usaha swasta diarahkan terutama agar makin mampu dan berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas pemerataan pembangunan dan hasil – hasilnya termasuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Untuk itu kemampuan dan peranan dunia usaha nasional khususnya koperasi, usaha kecil serta usaha informal dan tradisional, perlu terus ditingkatkan agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih tangguh dan mandiri.
Jelas bahwa pasal ini mengharapkan tenaga – tenaga wiraswasta Indonesia. Agar ikut serta ambil bagian untuk (a) meningkatkan taraf hidup mereka itu sendiri, (b) memberikan dimensi baru pada masyarakat tentang masa depan mereka sendiri, dan (c) mengembangkan teknologi yang tepat guna dan pada karya yang dapat dipergunakan sendiri oleh masyarakat. Untuk itu, kita harus merubah sikap kreatif, serta memanfaatkan peluan inovatif.
2. Perkembangan Kewiraswastaan di Indonesia dari Tinjauan perspektif      Historis.
            Kalau kita meneliti perkembangan wiraswasta di Indonesia, terutama yang berasal dari golongan pribumi, maka akan segera jelas bagi kita bahwa perkembangan dan pertumbuhan mereka tidak seperti yang dialami rekan mereka di negara industry maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang ataupun Australia. Di negara industri maju kelihatan jelas tahapan kehidupan ekonomi pertanian kedaerah industrialisasi.
            Bagaimana perkembangan wiraswasta di Indonesia? Indonesia sejak dahulu hingga proklamasi 1945 dan berlanjut samapi 1985, konsentrasi kehidupan ekonominya masih bertumpu pada satu sector pertanian. Kondisi ini semakin jelas mengingat 80% rakyat Indonesia tinggal di pedesaan hidup sebagai petani atau sebagai nelayan bagi mereka yang tinggal di pantai.
            Adapun kehidupan berusaha atau berdagang masih merupakan hal yang belum umum dan belum mendapat posisi terhormat dalam hati atau dalam struktur masyarakat. Di banyak desa, terutama diluar jawa, kehidupan ekonomi hanya kentara kalau ada hari pasaran atau pekan. Keadaan seperti ini merupakan gambaran umum sebelum 1945. Kebanyakan fungsi – fungsi distribusi dan pedagang perantara dipegang oleh keturunan Cina, keturunan Arab atau dari kelompok suku Indonesia tertentu.
            Proklamasi  kemerdekaan RI 1945, yang disusul dengan perang kemerdekaan, hingga 1950, membawa perubahan radikal dalam kehidupan dunia usaha Indonesia. Karena situasi perang dan tuntutan kemerdekaan, posisi perusahaan Belanda dan peeran perantara orang Cina di sana – sini menjadi kosong dan digantikan oleh orang Indonesia. Penggantian posisi umumnya tanpa persiapan dan tanpa dibekali ilmu atau pengalaman yang memadai. Keberanian atau tekad penggantian posisi ini terutama dilandasi semangat nasionalisme, atau sebagian oleh semangat petualangan atau karena terpaksa bahwa orang Indonesia juga harus mampu menjadi pengusaha atau seperti halnya menduduki dan menjalankan roda birokrasi peninggalan Belanda. Semua serba darurat dan serba improvisasi. Istilah “the show go on” merupakan penggambaran yang tepat pada periode 1945 – 1950. Dalam waktu yang singkat lahirlah pengusaha (wirausahawan) Indonesia yang tanpa pendidikan, tanpa pengalaman dan tanpa persiapan dan dalam beberapa hal mungkin juga tanpa bakat. Dan dengan demikian sudah pasti juga tanpa manajemen. Dalam beberapa sector tertentu ada satu atau dua perusahaan keluarga yang telah berpengalaman di samping beberapa eks pegawai atau bawahan pada perusahaan Belanda ada pengusaha Cina.
            Perkembangan sesuai perang kemerdekaan 1950, dengan tekad mengisi kemerdekaan, telah memaksa pemerintah mendorong peranan pengusaha Indonesia menangani kehidupan ekonomi. Masa liberal awal Limapuluhan memberi kesempatan yang luar biasa bagi pertumbuhan dan perkembangan pengusaha di Indonesia, walaupun pemerintah masih tetap menangani hampir semua perusahaan Belanda dan sektor – sektor vital. Dalam periode 1950-1959, perusahaan nasional tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Pertumbuhan ini juga lebih nyata lagi dengan lahirnya lisensi istimewa dan liberisasi ekonomi serta tekad pemerintah untuk merealisasi kemerdekaan Indonesia sebagai realisasi janji kemakmuran setelah merdeka. Akibatnya dapat diterka. Dimana – mana lahir beribu – ribu pengusaha tanpa latar belakang pendidikan dan tanpa pengalaman yang memadai. Banyak perusahaan yang timbul dan tenggelam. Banyak orang, keluarga atau kelompok kaya mendadak dan banyak juga yang bangkrut atau hilang dari peredaran. Namun harus diakui, periode 1950-1960 merupakan jaman emas bagi pengusaha pribumi walau akhirnya harus dibayar mahal dengan kegagalan.
            Masa liberal berakhir dengan dekrit 5 juli 1959, yaitu Indonesia kembali ke UUD 1945 dan diikuti pula dengan masa jaya PKI yang anti kapitalis dan anti liberalisasi ekonomi. Masa 1959-1965 merupakan awal masa paceklik bagi pertumbuhan dunia usaha swasta dan segala-galanya mau ditangani pemerintah. Dari kenyataan diatas yaitu sejak 1945 hingga 1965, praktek dunia usaha Indonesia tidak mengalami ketenangan atau pertumbuhan wajar tetapi selalu hidup dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya serta tidak didasari kesinambungan kebijakan pemerintah. Kondisi politik dan ekonomi yang sering berubah – ubah ini ternyata membawa pengaruh yang cukup mendasar bagi kehidupan dunia usaha di Indonesia, terutama yang menyangkut wirausaha. Wirausaha karena pengalaman langsung, menjadi tidak percaya pada hokum ekonomi atau praktek usaha yang wajar. Mereka sendiri mengalami berbagai perubahan peraturan dan kebijakan pemerintah yang satu sama lain kontradiktif atau tumpang tindih. Pada masa 1945-1965, seakan –akan ketekunan, kerajinan kejujuran tidak mendapat tempat. Belum lagi bahwa kabanyakan dari pengusaha ini tidak mempunyai pengalaman, tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang tepat dan memadai. Mereka seakan – akan berkembang dan bertumbuh liar dalam suasana kebijakan ekonomi yang simpang siur.

Situasi setelah 1965
            Sepintas lalu dengan berakhirnya masa demokrasi terpimpin serta terselesainya masa gestapu telah membawa angin baru bagi dunia usaha Indonesia. Dunia swasta kembali mendapat peran. Dalam waktu yang sama pemerintah mengundang modal asing serta member peran pada pengusaha besar dan pengusaha non pribumi yang berpengalaman dan kuat modal. Namun karena kurang pengalaman dan kurang pendidikan maka kesempatan ruang gerak dan bantuan capital pemerintah lewat berbagai paket dan kredit dalam banyak hal seakan – akan menjadi bumerang. Disamping kemunculan beribu – ribu pengusaha baru, terutama perusahaan menengah, perusahaan besar sekaligus juga diikuti dengan tumbangnya ribuan perusahaan kecil. Pada periode yang sama dalam suasana pelita muncullah corak pengusahja baru yang lebih rumit dan canggih yang sebahagian besar sering dikaitkan dengan koneksi, modal kuat dan fasilitas. Berbagai imperest dan ketentuan telah dikeluarkan. Demikian juga pembentukan KUD, BUUD diharapkan akan menjadi dewa penolong dunia swasta Indonesia, terutama golongan pribumi dan mereka yang jauh dari pusat kegiatan ekonomi, yaitu mereka yang dipedesaan dan di daerah terpencil.
            Periode 1965-1986 dapat disebut sebagai era pembangunan dan telah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia serta telah berhasil melahirkan beribu – ribu pengusaha baru termasuk di dalamnya pengusaha kecil. Tetapi sebagian jauh nasib perusahaan kecil belum begitu membawa hasil yang diharapkan oleh pemerintah, juga oleh pengusaha kecil itu sendiri.

3. Fungsi kewiraswastaan dalam pembangunan nasional
            Peranan wiraswasta dalam pembangunan bangsa dan Negara sangat penting dan menentukan masa depan bangsa dan Negara itu sendiri. Inovasi dan kewiraswastaan benar – benar dibutuhkan dalam pembangunan baik itu kehidupan individu maupun kelompok masyarakat. Inovasi dan kewiraswastaan tidak direncanakan sekaligus, tetapi difokuskan pada peluang ini atau kebutuhan itu. Karena iya bersifat sementara dan akan menghilang jika tidak memberikan hasil yang diharapkan dan tidak sesuai dengan kebutuhan, karena dengan kata lain inovasi dan kewiraswastaan bersifat pragmatis bukannya dogmatis. Apa yang kita perlukan adalah masyarakat wiraswasta dimana inovasi dan kewiraswastaan merupakan hal yang wajar, mantap dan berkesinambungan.
            Tenaga wiraswasta di Negara kita masih kurang, khususnya wiraswsata yang berasal dari golongan pribumi. Kekurangan ini terjadi akibat dari masa – masa lalu sebelum kemerdekaan Indonesia yaitu:
a)      Politik penjajah yang mematikan semangat wiraswasta bangsa Indonesia
b)      Adanya fasilitas yang berbeda antara tenaga wiraswasta asing dengan wiraswasta pribumi, dan
c)      Kebangkitan kembali pada masa kemerdekaan sering mengalami kegagalan dan wiraswasta asing telah jauh maju kedepan.
Wiraswasta pribumi tidak ada. Wiraswasta pribumi sudah dan sejak lama ada yaitu sejak nenek moyang kita sudah ada dan sudah maju. Sejarah membuktikan, bahwa wiraswasta pribumi telah maju. Masa gemilang wiraswasta pribumi telah mencapai puncak kejayaannya pada masa sriwijaya, majapahit, padjajaran, Mataram dan sebagainya. Runtuhnya kerajaan – kerajaan tersebut dan masuknya penjajah ke Indonesia tenaga wiraswasta tadi hilang. Tenaga wiraswasta pada masa penjajah diganti oleh penduduk pendatang. Perubahan ini adalah kehendak politik penjajah sendiri.
            Melalui kemerdekaan dan pembnagunan nasional kita harus membangkitkan kembali tenaga wiraswasta. Para ahli berpendapat bahwa untu mencapai tujuan pembangunan, suatu bangsa memerlukan tenaga wiraswasta 2 % dari jumlah penduduk Negara itu sendiri. Penduduk Indonesia kurang lebih telah mencapai 162 juta. Berdasarkan jumlah tersebut, maka tenaga wiraswasta harus tersedia sekurang – kurangnya orang, khususnya tenaga wiraswasta yang bergerak dalam lapangan perniagaan.
            Dari hasil penelitian pada tahun 1979, para ahli telah mendapatkan data bahwa penduduk dunia yang bekerja sebagai tenaga wiraswasta dala berbagi lapangan, sebagai berikut:
a)      Yang bergerak dalam lapangan perniagaan                                  6.20 %
1)      Sebagai pedagang menengah                                      0.30 %
2)      Sebagai pedagang kecil                                                           5.90 %

b)      Lapangan lain                                                                                26.40 %
1)      Pegawai negeri                                                                          4.00 %
2)      Petani menengah                                                                     22.20 %

c)      Golongan miskin                                                                           67.40 %
1)      Petani miskin                                                                           42.90 %
2)      Buruh kasar/kuli                                                                      24.50 %
Tenaga wiraswasta dalam lapangan perniagaan nampaknya masih kurang, kecil sekali. Kekurangan ini juga kita jumpai di Indonesia, khususnya tenaga wiraswasta yang berasal dari golongan pribumi sendiri.
Dalam pembangunan nasional, kewiraswastaan berfungsi untuk:
a.       Mengurangi pengangguran
b.      Mengatasi ketegangan social
c.       Meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat, dan
d.      Memajukan ekonomi bangsa dan Negara.
Tenaga wiraswasta harus ikut serta ambil bagian dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan bangsa dan Negara terletak pada (a) keikutsertakan masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup mereka yang tergantung pada swakarya mereka itu sendiri; (b) pengembangan gagasan baru untuk memberikan dimensi baru pada masyarakat tentang masa depan mereka; dan (c) pengembangan tehnologi yang tepat guna dan padat karya yang dapat dipergunakan sendiri oleh masyarakat sehingga benar – benar merupakan unsur positip dalam pembangunan.
4. Dimensi Kewiraswastaan Masyarakat
            Apa yang telah disampaikan disini, lebih bersifat normative. Sebaiknya tingkat Kewiraswastaan masyarakat sosok wiraswasta harus dapat dilihat dari dimensi yang dapat diukur.
            Suatu pendekatan yang mengukur tingkat Kewiraswastaan suatu masyarakat dapat menggunakan pendekatan dari Dr. Lee Tsao Yuan dan Dr. Linda Low (1990) dari the institute Of Policy Studies. Namun begitu, pendekatan baru ini tidak lepas dari kritik dan mengundang perdebatan yang belum selesai hingga hari ini, kalaupun pendekatan ini telah dipakai di berbagai negara.
            Pendekatan ini mengatakan, tingkat Kewiraswastaan masyarakat dapa diukur dengan membandingkan jumlah perusahaan yang ada di suatu masyarakat terhadap jumlah per seribu penduduk. Dari data BPS 1991, kita memperoleh angka bahwa pada 1990, jumlah perusahaan per seribu penduduk di Indonesia adalah 16 perusahaan. Pada tahun yang sama, hongkong menunjukkan angja dua kali lipatnya, yaitu 29 perusahaan. Korea Selatan 36 perusahaan, sementara di Singapura 35 perusahaan dan Taiwan 27 perusahaan.
            Jumlah perusahaan di Indonesia yang tercatat diatas termasuk unit – unit usaha tidak berbadan hokum, seperti sector informal yang bergerak diperdagangan eceran dan warteg (warung tegal). Meskipun mungkin belum semua sector informal terliput dalam angka itu. Yang menarik, jika ditinjau dari komposisi jenis usaha, tampak bahwa di sector perdagangan, jumlah itu sangat dominan. Sebagaimana pula di negara – negara lainnya.
            Tetapi jika kita coba menghitungnya dengan memasukkan jumlah perusahaan yang bergerak di sector manufaktur, keuangan, dan real estate, diperoleh angka yang sangat rendah sekali bagi Indonesia. Yaitu 0,1 perusahaan per seribu penduduk. Sedangkan Hongkong, 5,9. Di Korea Selatan 3 perusahaan, di Singapura 5,8 perusahaan, dan Taiwan 3,5 perusahaan.
            Dari nagka – angka ini terungkap bahwa tingkat Kewiraswastaan masyarakat sector manufaktur, keuangan, dan real estate sangat rendah. Atau dapat dikatakan bahwa tingkat Kewiraswastaan Indonesia masih dominan di sector perdagangan, dan masih sangat tertinggal di sector industri. Bila pertumbuhan jumlah perusahaan dua kali lipat dari juml;ah pertumbuhan penduduk, maka pada sepuluh tahun mendatang tingkat Kewiraswastaan itu menunjukkan angka yang relative rendah, yakni 16 perusahaan per seribu penduduk.
            Persoalan sekarang, bagaiman kita dapat mendorong peningkatan tingkat Kewiraswastaan tersebut. Tentu usaha itu bukan hanya dibarengi denagn upaya yang bersifat kuantitas, tetapi juga kualitas. Uapay – upaya tersebut, mau tidak mau, bersinggungan denagn proses penggeseran nilai – nilai di masyarakat. Seperti kita tahu bahwa disebagian besar masyarakat masih terdapat nilai – nilai yang berorientasi pada status abtenaran dalam arti luas. Termasuk keinginan menjadi pegawai daripada wiraswasta. Ataukah itu bukan merupakan indikator bahwa terdapat entry bariries untuk memasuki dunia usaha bagi pemula atau new-entrants. Kalau indikasi ini benar, tentu kita harus bersama – sama berupaya mengatasinya denagn prinsip inovasi seorang wiraswasta.
            Pertanyaannya sekarang, “bagaimanakah sosok wiraswasta Indonesia itu”? jawaban yang sederhana adalah bahwa sosok wiraswasta itu haruslah sosok yang lahir dan berkembang dalam “niche” (relung) social ekonomi Indonesia. Dengan demikian, wiraswasta Indonesia adalah seorang wiraswasta yang berkomitmen mengatasi problema social ekonomi Indonesia. Artinya, setiap poetential opportunity (kesempatan potensial) yang diperoleh, senantiasa harus diupayakan sebagai jawaban untuk mengatasi problema ekonomi.
            Hal ini sesuai dengan arah dan kebijakan pembangunan nasional yang dirumuskan dalam GBHN 19988 (pasal 9g) :
            Usaha untuk meningkatkan Kewiraswastaan, keahlian dan kemampuan dunia usaha nasional perlu terus dilanjutkan termasuk upaya untuk mendorong tumbuhnya jiwa Kewiraswastaan dikalangan generasi muda. Penanaman modal oleh masyarakat makin ditingkatkan, terutama penanaman modal dalam negeri, dalam rangka menggali dan memanfaatkan kemampuan yang ada di masyarakat untuk menunjang pembanguna nasional, dan penanganannya harus dilakukan secara terpadu, baik dipusat maupun di daerah. Penanaman modal asing masih diperlukan untuk mendukung pembangunan di berbagai bidang terutama yang menghasilkan barang dan jasa untuk diekspor, mendorong perkembangan dan alih tehnologi serta menciptakan lapangan kerja dan selalu diarahkan untuk mendorong pertumbuhan kemampuan dunia usaha nasional.
            Maka, bila sebuah usaha baru diciptakan oleh seorang wiraswasta Indonesia, setidaknya di dalam benaknya terdapat pemikiran tentang penciptaan kesempatan kerja. Hal itu tentu, dalam skala besar. Sedangkan dalam skala kecil, usaha yang diciptakan itu, paling tidak merupakan perwujudan kemandirian agar tidak menjadi beban orang lain.
            Pemikiran di atas pada dasarnya bertolak dari falsafah bangsa yang mengakui bahwa manusia tidak merupakan mahluk individu, tetapi juga mahluk social. Dalam konteks ini, seorang wiraswasta Indonesia adalah sosok manusia Indonesia yang lebih cenderung mengeksploitasi dirinya sebagai mahluk social. Secara filosofis, wiraswastawan Indonesia adalah wiraswasta yang berusaha mengatasi problema social ekonomi masyarakat, dan bersamaan dengan itu problemanya sebagai mahluk individu turut terselesaikan.
            Sejajar dengan pemikiran diatas, kepada wiraswastawan diharapkan dapat pula memberikan kontribusi terhadap tumbuh dan berkembangnya nilai – nilai kepribadian bangsa dalam konteks Kewiraswastaan universal dan nilai – nilai budaya bangsa dapat berkulturasi yang pada akhirnya memperkaya khasanah nilai – nilai kepribadian bangsa, khususnya nilai – nilai yang mengandung etika kerja Kewiraswastaan. Hal yang terakhir inilah, yang dapat memacu laju produktivitas bangsa, sebagai prasyarat terjaminnya kelanjutan dan peningkatan pembangunan.
5. Faktor Penghambat Pertumbuhan Wiraswasta di Indonesia
            Pertanyaan ini telah memusingkan banyak pemikir ekonomi Indonesia dan juga pihak pemerintah. Disamping berbagai alas an klasik seperti uraian didepan, mungkin pengalaman perusahaan kecil di negara pra industri dan industri dapat dibuat sebagai perbandingan.
            Sepintas lalu, masa kemerdekaan yang sudah 50 tahun seharusnya telah pantas melahirkan kelas pengusaha Indonesia yang tangguh di segala tingkatan dan sector kehidupan. Sepintas lalu juga dapat disebut, Pemerintah RI telah berusaha dengan berbagai peraturan, paket dan bantuan demi perkembangan dan pertumbuhan pengusaha nasional dari seluruh tingkatan. Namun kalau kita telusuri lebih tenang dan mendasar, ternyata selama periode 1945-1986 terdapat keadaan dan realisasi sebagai berikut:
(a)    Latar social wiraswastawan. Di negara pra-industri asal – usul wirausaha umumnya di kelas menengah rata – rata mempunyai pengalaman dan pendidikan yang memadai. Mereke sudah mempunyai tradisi berusaha. Bagaimana di Indonesia? Merea yang terjun di dunia usaha umumnya, atau wirausaha khususnya, bukan saja tidak mempunyai pendidikan dan tanpa pengalaman yang relevan tetapi juga berasala dari kelas bawah dan pada umumnya dianggap rendah serta tidak terhormat. Pada masyarakat Indonesia (kecuali keturunan cina) ada sikap mendua, terutama di daerah, bahwa kaum pengusaha itu termasuk kelas rendah, kurang jujur dan tidak terhormat. Hampir tidak ada orangtua dari kelas menengah yang mencita – citakan anaknya menjadi pengusaha kecil. Apalagi memasukkannya ke sekolah yang menjurus ke perusahaan. Hal yana agak berbeda mungkin terdapat di berbagai suku seperti Minangkabau dan Batak. Idealism kaum menengah dan kaum feudal ialah agar anaknya kelas berpangkat atau priyayi, ataupun pemuka agama.
(b)   System pendidikan dan kemagangan
Pada awal kemerdekaan, Indonesia praktis melakukan tradisi pendidikan Belanda yang cocok denagn suasana koloni dan sangat berbeda dengan system pendidikan di negara Belanda sendiri. Kebanyakan sekolah dasar dan menengah bersifat umum. Sekolah kejuruan ham[ir – hampir tidak ada atau sangat minim. Pada hal ada teori yang mengatakan justru tamatan sekolah kejuruan inilah yang mampu menjadi tulang punggung perusahaan kecil dan tulang punggung demokrasi karena posisinya sebagai kelas menengah yang ampuh dan tahan goncangan. Karena kurangnya sekolah kejuruan maka otomatis system pemagangan yang merupakan proses alih keterampilan dan pengalaman tidak dipunyai dan tidak memasyarakat. Bahkan orangtua yang kebutuhan jadi pengusahapun enggan memagangkan anaknya diperusahaannya, apalagi di perusahaan orang lain. Kekecualian terdapat pada perusahaan Cina dan beberapa suku lainnya.
Kenyataan langkanya pendidikan kejuruan dan tidak adanya atau sangat minimnya system pemagangan telah menghanbat perkembangan dan pertumbuhan serta kesinambungan usaha kecil.
(c)    Kebijakan pemerintah yang simpang – siur dan tumpang tindih
Harus diakui bahwa selama 50 tahun merdeka, kurangnya pengalaman dan paksaan situasi politik dan ekonomi telah melahirkan dan mengakibatkan kesimpangsiuran dalam peraturan dan kebijakan pemerintah dalam menata kehidupan ekonomi pada umumnya serta usaha kecil pada khususnya. Ingat saja kita mengalami perubahan UUD selama empat kali, yaitu (1945, UUD 45; 1949 UUD RIS; 1949-1959 UUDS; 1959-UUD’45). Belum lagi pergolakan politik yang melatarbelakangi perubahan – perubahan tersebut. System hokum yang mengatur tata kehidupan ekonomi Indonesia sangat kacau-balau dan malah sebagian besar berasak dari Code Napoleon (abad 19) yang dinegeri asalnya telah lama ditinggalkan atau diganti Indonesia selama 50 tahun mengalami berbagai semboyan kehidupan ekonomi. Dari liberal, terpimpin, sampai ekonomi pancasila. Mungkin perubahan dan kesimpangsiuran itu tidak begitu terasa bagi pembuat kebijakan, karena pelakunya silih berganti. Tetapi tidak demikian halnya bagi dunia usaha. Terkadang mereka tidak punya pegangan dan bingung. Kebingungan lebih hebat lagi Nampak dari kenyataan lahirnya wiraswasta karena jabatan, koneksi, hubungan keluarga atau sogok.

6. Kesiapan Wiraswasta Indonesia dalam Era Tinggal Landas
            Apakah dengan kondisi tingkat Kewiraswastaan itu, kita siap menyongsong era tinggal landas? Sebenarnya, kita siap, denagn asumsi bahwa tinggal landas diartikan sebagai suatu kondisi yang kondusif yang mendorong bangsa Indonesia sampai pada suatu tingkat yang dinamakan seni industrialisasi. Yaitu mendefenisikan sebagai suatu tingkat dimana kontribusi sector industri terhadap Produk domestic Bruto (PDB) melewati angka 20%, dan nilai tambah pada sector komoditas  telah melampaui 40%. Rujukan ini dikutip dari satndar yang dikenalkan oleh UNIDO.
            Saat ini, kontribusi sector industri terhadap PDB telah mencapai 80% pada tahun 1990, sedangkan nilai tambah rata – rata sector komoditas mencapai 31%. Keadaan ini, menurut rujukan UNIDO, merupakan tingkat menuju proses industrialisasi. Empat belas tahun lalu, kita telah menembus angka 20% dan nilai kontribusi sector industry terhadap PDB dan menembus angka 20% untuk nilai tambah sector komoditi. Kita mensyukuri prestasi ini dengan berbuat lebih baik, agar tingkat berikutnya kita capai.
            Untuk memacu mendekati tinggal landas dalam pengertian itulah, maka muncul pandangan bahwa wiraswasta Indonesia memiliki peluang yang besar sebagai lokomotif penggerak. Dan diharapkan agar kiranya melalui ruang – ruang kuliah di universitas disosialisasikan nilai – nilai kewiraswastaan dengan vivi tinggal landas itu.
            Harapan itu, tidaklah berlebihan, mengingat di Harvad Bussiness School yang masyur itu, entrepeneurship, creativity, dan organitation diajarkan pada tahun ajaran kedua. Dan itu, baru dimulai pada 1984. Ketiga hal itu diajarkan dengan alasan untuk mengakomodasi kebutuhan para mahasiswa yang berkeinginan menjadi seorang wiraswasta, atau professional yang berkembang menurut kaidah kewiraswastaan, dan yang berkeinginan menjadi professional yang kreatif menangani bisnis. 
A.    Pertanyaan diskusi :

1.      Defenisikan konsep “pembangunan” (development)?
2.      Rumuskan kembali konsep : capacity, equity, empowerment dan sustainability
3.      Jelaskan denagn singkat implikasi pembangunan terhadap masyarakat?
4.      Ceritakan kembali perkembangan wiraswasta Indonesia dari tinjauan perspektif historis?
5.      Sebutkan empat fungsi kewiraswastaan dalam pembangunan nasional?
6.      Sebutkan salah satu pendekatan untuk mengukur tingkat kewiraswastaan masyarakat?
7.      Berdasarkan pendekatan diatas, analisislah tingkat kewiraswastaan masyarakat di Indonesia?
8.      Identifikasikan pembatas – pembatas yang merintangi pertumbuhan kewiraswastaan di Indonesia?
9.      Dari tinjauan pertumbuhan industri, analisislah kesiapan wiraswasta Indonesia dalam menghadapi era tinggal landas?

B.     Tugas

Akhir - akhir ini ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa kebijakan pembangunan nasional   dalam beberapa hal cenderung membangkitkan kegelisahan masyarakat dan rasa tidak puas. Mereka melihat adanya proyek “mercu-suar”, “tehnologi tinggi yang penuh persona”, “robotisasi”, dan lain – lain. Sementara ada yang berpendapat bahwa kebijakan pembangunan nasional telah membawa hasil yang berarti, apalagi dengan ada “subsidi”, kredit “lunak”, “kedudukan monopoli”, “debirokratisasi”, “deregulasi”, dan lain – lain.

            Pertanyaan untuk dipertimbangkan:
                        Dari konsep yang diberi tanda kutip tersebut, buatkan suatu analisis Anda tentang kemungkinannya bagi pengembangan sikap kewiraswastaan di Indonesia? (susun dalam bentuk suatu penulisan makalah atau laporan).


Jangan mpe lupa ya sobat Shantycr7 untuk baca juga bab I nya klik ini http://shantycr7.blogspot.com/2013/06/pengertian-konsep-kewiraswastaan.html
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

 
-->